
Caung newsKebijakan pembekuan rekening yang tidak aktif oleh PPATK memicu perdebatan di kalangan masyarakat, hingga akhirnya dicabut pada hari Rabu (30/7/2025).
Saat ini, Kementerian Sosial (Kemensos) berencana bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam memverifikasi rekening penerima bantuan sosial (bansos).
Jika terdapat ketidaksesuaian dalam jumlah tabungan nasabah, Kementerian Sosial akan dengan tegas menghentikan bantuan tersebut.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyatakan bahwa saat ini terdapat lebih dari 300.000 rekening penerima bantuan sosial yang sedang diteliti karena diduga tidak memenuhi syarat.
Namun, ia belum membagikan hasil penemuannya.
Gus Ipul menyatakan bahwa kolaborasi hanya dengan PPATK belum cukup untuk memperkuat pengawasan terhadap rekening penerima bantuan sosial (bansos) dan menghindari penyalahgunaannya.
“PPATK saja tidak cukup, karena PPATK memiliki tugas yang berbeda. Kami membutuhkan keterlibatan BI untuk langsung melihat anomali pada saldo rekening,” kata Gus Ipul di Kantor Kementerian Sosial, Kamis (31/7/2025).
Beberapa langkah lain yang dapat dilakukan untuk memastikan tidak adanya ketidaknormalan pada rekening penerima bantuan adalah dengan melakukan kerja sama atau menandatangani perjanjian kerja sama (MoU) dengan Bank Indonesia (BI).
“Kita akan melakukan MoU dengan BI, untuk memeriksa rekening-rekening penerima bantuan sosial, apakah ada saldo yang tidak wajar,” tambahnya.
“Anomali tersebut, misalnya pemilik rekening memiliki saldo hingga Rp 5 juta, hal ini sudah tidak sesuai dengan profil penerima bantuan sosial,” lanjut dia.
Gaduh Pemblokiran Rekening
Banyak keluhan diungkapkan oleh masyarakat yang rekening banknya mengalami pembekuan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kebijakan ini diambil oleh PPATK terhadap rekening yang tidak aktif atau tidak menunjukkan aktivitas transaksi dalam periode tertentu.
Selanjutnya, ketentuan ini diambil mengacu pada hasil analisis yang menunjukkan adanya potensi besar penyalahgunaan rekening tersebut dalam tindak pidana pencucian uang serta penyimpanan hasil kejahatan lainnya.
Mardiyah (48), warga Citayam, Bogor mengatakan baru menyadari rekeningnya diblokir saat ingin menggunakannya kembali.
“Halah, saya ini pedagang kecil, menaruh uang di sana jika ada sisa. Saat sedang sepi, tentu kosong. Tapi bukan berarti rekening itu palsu, bukan?” kata Mardiyah.
Rekening itu dahulu digunakan untuk menerima bantuan sosial.
Setelah bantuan tersebut berhenti, rekening tersebut memang tidak lagi berfungsi, tetapi masih disimpan untuk keperluan darurat.
“Jika nanti ada uang sisa, saya bisa menggunakannya kembali. Tapi sekarang justru dibekukan, diperintahkan untuk mengurus hal-hal ini-itu. Bagi orang kecil seperti saya, ini merepotkan,” katanya.
Ahmad Lubis (37) juga mengalami kejadian yang sama. Ia menemukan rekening dengan nama anaknya—yang masih duduk di bangku SD—terblokir juga.
Rekening tersebut berfungsi sebagai tempat menabung hadiah yang diperoleh dari prestasi anaknya.
“(Rekening yang dibekukan) tabungan rekening anak saya hampir seluruhnya berasal dari hadiah lomba dan prestasi lainnya,” ujar Ahmad.
Ahmad menganggap kebijakan PPATK bersifat merata terhadap semua nasabah, sehingga tidak mampu membedakan antara rekening yang mencurigakan dan yang hanya bersifat pasif.
“Sebenarnya PPATK ingin mengatasi kejahatan. Mereka seharusnya cerdas dalam memblokir yang benar, bukan sembarangan,” kata dia.
(Kompas.com/Kiki Safitri)