
Caung news– Laporan mengejutkan yang dirilis oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya dana bantuan sosial (bansos) sebesar Rp 2,1 triliun yang tersimpan di lebih dari 10 juta rekening bank penerima yang sudah lama tidak digunakan atau dalam kondisi dormant. Temuan ini memicu kekhawatiran akan kemungkinan adanya tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam pengelolaan bansos.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyebutkan bahwa besarnya jumlah rekening yang tidak aktif dalam kasus ini bukanlah hal yang sepele. Ia menegaskan, penerimaan bantuan sosial perlu lebih dipilih dengan cermat.
“Ini merupakan indikasi jelas bahwa sistem verifikasi dan pemutakhiran data penerima manfaat bantuan sosial masih lemah, kurang responsif terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat, serta minimnya pengawasan yang aktif,” ujar Puan kepada wartawan, Jumat (1/8).
Berdasarkan hasil pengamatan PPATK, dana tersebut terjebak dalam rekening-rekening yang tidak melakukan aktivitas transaksi selama tiga tahun. Lebih dari satu juta rekening diduga terkait dengan kejahatan, termasuk 150 ribu rekening yang menjadi nama samaran, rekening hasil perdagangan, peretasan, atau tindakan ilegal lainnya yang digunakan untuk menyimpan uang hasil kejahatan.
Bahkan, PPATK juga menemukan sekitar 2.000 rekening yang dimiliki oleh instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran yang sudah lama tidak digunakan, dengan total dana yang terendap mencapai Rp 500 miliar.
Menurut Puan, keadaan ini menggambarkan bahwa masalahnya bukan hanya soal administrasi, tetapi juga berkaitan dengan tanggung jawab dalam penggunaan dana negara.
“Ketika dana triliunan rupiah terendap di rekening yang sudah tidak digunakan lagi, tentu negara mengalami ketidakefektifan dalam pengeluaran sosial,” tegas Puan.
Ia juga menilai, kondisi ini memunculkan peluang adanya tindakan tidak wajar, termasuk pencucian uang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, Puan mengingatkan Kementerian Keuangan dan Kementerian Sosial segera melakukan pemeriksaan menyeluruh untuk mengungkap akar permasalahan serta mengevaluasi kelemahan dalam sistem pelaporan, verifikasi data, dan pencairan bantuan sosial.
“Sehingga keabsahan data penerima manfaat dapat dipertanggungjawabkan secara nyata dan hukum,” katanya.
Selanjutnya, Puan mengajak agar penyaluran bantuan sosial ke depan dilakukan secara digital, responsif, dan langsung, dengan dukungan teknologi yang objektif dan terhubung.
“Ini penting untuk mencegah pemborosan anggaran, serta memastikan bahwa bantuan sosial sampai kepada yang benar-benar membutuhkan, bukan ke rekening palsu, rekening tidak aktif, atau rekening pihak ketiga hasil tindakan ilegal,” ujarnya.
Ibu Puan juga menyarankan pembentukan Tim Khusus lintas kementerian dan lembaga, termasuk PPATK, OJK, serta Bank Indonesia, guna menginvestigasi jaringan penyalahgunaan rekening yang tidak aktif dan mencegah tindakan penyimpangan dana bantuan sosial di masa depan.
“Temuan PPATK mengenai lebih dari 1 juta rekening yang terkait dengan tindak pidana, termasuk 150 ribu rekening nomine, menjadi tanda peringatan bahwa sistem keuangan nasional membutuhkan pengawasan yang lebih ketat dan berbasis risiko,” ujarnya.