Penyelewengan Dana Sosial yang Merugikan Rakyat
Dana bantuan sosial yang seharusnya menjadi harapan bagi masyarakat kecil kini justru berubah menjadi sumber kekayaan pribadi para anggota legislatif. Temuan terbaru dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi dana sosial Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap modus yang memalukan. Uang yang seharusnya digunakan untuk program bedah rumah (rutilahu) dan kegiatan sosial lainnya justru dialihkan untuk membeli tanah, kendaraan mewah, serta membangun bisnis kuliner.
Dua anggota DPR RI Komisi XI periode 2019–2024, HG dan ST, yang kini berstatus tersangka, disebut melakukan pengalihan dana sosial yang mereka terima melalui yayasan milik atau terkait dengan mereka. Dari proposal yang diajukan, hanya sebagian kecil yang benar-benar terealisasi di lapangan. Sisanya hilang ke kantong pribadi.
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan contoh penyimpangan yang terjadi. “Jika proposalnya membedah 10 rumah, yang dibangun cuma dua atau tiga. Sisanya digunakan untuk aset pribadi—mulai dari kendaraan, tanah, hingga usaha rumah makan,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Kamis 7 Agustus 2025.
Berdasarkan data KPK, HG menerima sekitar Rp15,86 miliar, sedangkan ST mengantongi Rp12,5 miliar dari BI, OJK, dan mitra kerja Komisi XI lainnya. Dana tersebut dikucurkan dengan dalih Corporate Social Responsibility (CSR) atau Program Sosial BI (PSBI) dan Penyuluh Jasa Keuangan OJK.
Skema penyelewengan ini berjalan dengan rapi. Yayasan mengajukan proposal ke BI atau OJK, dan persetujuan cepat turun karena ada hubungan langsung dengan anggota DPR. Setelah itu, pencairan dana dilakukan ke rekening yayasan. Dari situ, sebagian kecil disalurkan untuk kegiatan formalitas seperti penyerahan bantuan simbolis, sementara porsi terbesar langsung dipindahkan ke rekening pribadi atau digunakan untuk membeli aset.
KPK juga menemukan adanya upaya menyamarkan kepemilikan aset. Beberapa properti dibeli atas nama orang kepercayaan atau keluarga, sedangkan usaha kuliner yang dibangun dari uang bansos dijalankan dengan manajemen terpisah agar terlihat sebagai bisnis mandiri. “Ini bagian dari tindak pidana pencucian uang,” tegas Asep.
Skandal ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merampas hak warga miskin yang seharusnya mendapatkan rumah layak huni atau bantuan lain. KPK memastikan akan menyita seluruh aset yang diduga berasal dari hasil korupsi, termasuk tanah, bangunan, kendaraan, dan usaha kuliner tersebut.
“Uang ini seharusnya untuk rakyat, bukan untuk memperkaya diri. Kita akan pastikan semua aset hasil kejahatan dirampas untuk negara,” kata Asep.
HG dan ST kini dicegah bepergian ke luar negeri. Penyidik KPK terus memanggil saksi, termasuk pengurus yayasan dan penerima bantuan yang menjadi korban pengurangan program.
Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa program sosial bisa diselewengkan jika tidak diawasi ketat, terutama ketika pengelolaannya berada di tangan pejabat yang memiliki akses besar terhadap anggaran. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan pengawasan yang lebih ketat dalam pengelolaan dana sosial.