
Masyarakat Suku Laut di Pulau Tanjung Sauh Menolak Relokasi
Di tengah perubahan yang terjadi di wilayah Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, masyarakat suku laut di Kampung Air Mas menolak untuk direlokasi. Alasan utama mereka adalah karena rumah relokasi yang disediakan berada di darat, bukan di pesisir seperti sebelumnya. Hal ini menjadi masalah besar bagi warga yang hidup dengan ketergantungan pada laut.
Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Tanjung Sauh telah memicu pergeseran signifikan dalam kehidupan masyarakat setempat. Sejak awal Agustus 2025, Tempo melakukan kunjungan ke pulau tersebut dan melihat bahwa pematangan lahan sudah berlangsung secara masif, terutama di Pulau Tanjung Sauh Kecil. Area yang dulunya berupa bukit dengan pohon rindang dan hutan mangrove kini rata dengan tanah. Di Pulau Tanjung Sauh Besar, pembukaan lahan juga sedang berlangsung, dan air laut mulai mengalami keruhannya. Meskipun telah dipasang penghalang sedimentasi dari bekas pemotongan lahan atau reklamasi, dampak lingkungan tetap terasa.
Kampung Air Mas, yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi pematangan lahan, menjadi target pembangunan. PT Batamraya Sukses Perkasa (BSP), yang menjadi penggarap Pulau Tanjung Sauh, akan merelokasi warga ke Pulau Ngenang, yang bersebelahan dengan Pulau Tanjung Sauh Besar. Namun, banyak warga menolak karena alasan budaya dan kebutuhan hidup mereka yang sangat berkaitan dengan laut.
Muhammad, salah satu warga yang menolak pindah, menyampaikan bahwa rumah relokasi di Pulau Ngenang berada di darat, bukan rumah panggung di pesisir. Selain itu, akses sungai yang seharusnya dibangunkan belum terealisasi meskipun sudah dijanjikan. Mayoritas warga suku laut menggunakan kapal untuk melaut, sehingga tidak bisa jauh dari air. Hasan, warga lainnya, mengatakan bahwa meskipun ada sungai, ia merasa berat untuk pindah karena rumah baru berada di darat.
Hasan berharap agar perusahaan dapat memberikan ganti rumah tetapi tetap berada di Kampung Air Mas. “Kami tidak mau pindah,” katanya. Salah satu kesulitan utama adalah ketidakmampuan mereka untuk melihat pasang surut air laut, yang menjadi petanda penting bagi kegiatan melaut.
Beberapa warga lain juga menyampaikan alasan serupa. Mani, seorang tetua suku laut yang hampir berusia 100 tahun, menyebut Kampung Air Mas sebagai “tanah berkat.” Lembaga Swadaya Masyarakat Lingkungan Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan, juga memperhatikan nasib suku laut di sana. Ia menyatakan bahwa warga tidak ingin pindah karena tidak adanya sungai. Ia sedang mengumpulkan data untuk memberikan masukan agar suku laut diberikan perlakuan khusus akibat dampak PSN.
Perusahaan PT BSP menjelaskan bahwa mereka telah berkomunikasi dengan warga sejak 2018. Tidak ada pemaksaan, dan semua pembangunan dilakukan sesuai aturan. Sungai yang akan digunakan warga sedang dalam proses pembuatan dari pesisir Pulau Ngenang ke rumah relokasi. Jaraknya diperkirakan hanya sekitar 10 meter ke laut. Pihak perusahaan juga berkoordinasi dengan kementerian terkait mekanisme pembangunan.
Selain itu, PT BSP menyediakan lahan, rumah relokasi, dan uang sagu hati kepada warga. Meski demikian, masih ada beberapa kepala keluarga yang menolak. Anwar, Direksi Panbil Group, menyatakan bahwa mereka akan terus berdiskusi dengan warga jika masih ada penolakan.
Data PT BSP menyebutkan total warga terdampak sebanyak 150 kepala keluarga dari tiga kampung: Kampung Air Mas, Selat Desa, dan Kampung Dapur Arang. Pembangunan di Pulau Tanjung Sauh dan Ngenang mencakup pelabuhan peti kemas, pembangkit listrik, serta kawasan industri. Investasi yang dilakukan selama satu tahun terakhir mencapai Rp 5,5 triliun, dengan proyeksi sampai 2030 sebesar Rp 33 triliun.