
Cerita Seorang Fotografer Perempuan dari Gaza
Seorang fotografer perempuan asal Gaza, Palestina, mengungkapkan perjuangannya melalui media sosial. Dengan akun Instagram @haneen.maher.salem, ia membagikan pengalamannya selama konflik yang terjadi di wilayah tersebut. Ia menyampaikan ceritanya tanpa menuntut simpati atau dukungan, tetapi hanya ingin menyampaikan kebenaran.
Ia menjelaskan bahwa ini adalah pertama kalinya ia berbicara tentang perjuangan yang telah dialaminya selama setahun terakhir. Sebagai seorang fotografer perempuan, ia bekerja dalam kondisi yang sangat sulit, di tengah perang, bom, pengungsian, kelaparan, serta kelelahan fisik dan mental. Meskipun situasi itu sangat berat, ia tidak pernah mengeluh atau mencari perhatian dari pihak luar.
“Untuk pertama kalinya, saya memutuskan untuk berbicara tentang perjuangan yang telah saya alami selama setahun,” ujarnya. “Saya tidak pernah mengeluh, tidak pernah menceritakan apa yang saya alami kepada siapa pun, dan tidak pernah pergi ke media untuk meminta simpati.”
Ia menolak untuk membagikan kehidupan pribadinya karena dua alasan utama. Pertama, ia tidak ingin menjadi “tren simpati.” Kedua, ia tidak ingin dunia hanya mengingat dan memuliakannya setelah ia tiada. Ia merasa bahwa hidupnya memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar menjadi objek belas kasihan.
Dalam keterangannya, ia menyebutkan bahwa tujuan utamanya sebagai fotografer adalah untuk menjadi tangan yang mendokumentasikan genosida rakyat Gaza agar bisa tersimpan dalam sejarah. Tujuan kedua adalah untuk mendapatkan hak sederhana atas usaha dan keringatnya sendiri, tanpa harus meminta bantuan atau membuka tautan donasi.
Sayangnya, peralatan fotografi yang digunakan oleh Haneen tergolong dasar, sedangkan harga di Gaza sangat mahal. Ia mengungkapkan bahwa peralatan seperti lensa dan alat penting lainnya harganya sepuluh kali lipat lebih mahal dibandingkan harga aslinya. Bahkan, banyak peralatan yang sudah rusak dan hanya bisa diperoleh melalui jalan yang tidak mudah.
“Sudah lama saya membutuhkan lensa dan beberapa peralatan penting untuk membantu saya melanjutkan pekerjaan. Namun, di Gaza, harganya sepuluh kali lipat lebih mahal daripada harga aslinya, seringkali untuk peralatan bekas. Dan karena semuanya di sini bergantung pada ‘koneksi’, bahkan ketika saya hanya meminta satu barang, kebanyakan orang menolak karena semua orang hanya memikirkan diri mereka sendiri.”
Haneen mengaku saat ini merasa kehilangan semangat. Ia menulis story untuk menyampaikan aspirasinya dan berharap ada yang bisa membantunya memperoleh peralatan dengan harga yang wajar. Ia ingin dapat melanjutkan pekerjaannya sebagai saksi kebenaran yang coba dihapus oleh pihak tertentu.
“Kemarin-kemarin, saya kehilangan kekuatan, energi, dan semangat. Itulah sebabnya saya menulis kata-kata ini hari ini untuk menyuarakan aspirasi saya. Jika ada yang bisa membantu saya membeli peralatan di sini dengan harga yang pantas, atau membawanya dari luar negeri, itu berarti saya bisa melanjutkan pekerjaan saya dan tetap menjadi saksi kebenaran yang coba mereka hapus.”
Story tersebut kini tidak lagi tersedia karena telah melewati batas waktu 24 jam. Namun, dari akun Instagramnya, ia sering membagikan potret-potret anak-anak di Gaza yang menjadi korban dari konflik yang terjadi. Melalui karyanya, ia berusaha memberikan suara bagi mereka yang tidak bisa berbicara.