
Serangan Militer Israel di Gaza Meningkatkan Kekhawatiran atas Kemanusiaan
Israel telah mengumumkan rencana evakuasi warga Palestina dari “zona tempur” ke wilayah selatan Jalur Gaza. Rencana ini dimulai pada hari Ahad, sementara militer negara tersebut secara resmi memulai serangan baru untuk menguasai Kota Gaza, yang merupakan pusat kota terbesar di wilayah tersebut.
Dalam kunjungan ke Jalur Gaza, Kepala Staf IDF Eyal Zamir menyatakan bahwa militer menyetujui “rencana perang tahap selanjutnya”. Pernyataannya muncul setelah kabinet keamanan melakukan pemungutan suara awal bulan ini untuk menyetujui serangan militer di wilayah utara Jalur Gaza. Rencana tersebut, yang didiskusikan dalam Komando Selatan pada malam Sabtu, akan fokus pada pengambilalihan Kota Gaza. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari komunitas internasional karena berpotensi membahayakan ratusan ribu penduduk.
Juru bicara militer berbahasa Arab Avichay Adraee mengatakan bahwa warga akan diberi tenda dan perlengkapan perlindungan lainnya melalui Karem Abu Salem atau Kerem Shalom, jalur yang digunakan oleh PBB dan organisasi bantuan internasional. Namun, PBB belum memberikan komentar resmi mengenai rencana tersebut atau peran mereka dalam bantuan kemanusiaan.
Perdana Menteri Israel Netanyahu sebelumnya mengumumkan bahwa militer diberi lampu hijau untuk “membongkar” dua benteng Hamas yang tersisa: Kota Gaza di utara dan al-Mawasi di selatan. Meski begitu, tentara Israel belum merinci apakah peralatan penampungan itu ditujukan untuk penduduk Kota Gaza yang jumlahnya sekitar satu juta orang, serta lokasi relokasi mereka di wilayah Rafah, dekat perbatasan dengan Mesir.
PBB memperingatkan bahwa ribuan keluarga yang sudah mengalami kondisi kemanusiaan memprihatinkan dapat tersingkir jika rencana tersebut dilaksanakan. Kelompok Jihad Islam Palestina, sekutu Hamas, menggambarkan pengumuman militer sebagai bagian dari “serangan brutal” untuk menduduki Kota Gaza dan “penghinaan terhadap konvensi internasional.”
Serangan Militer Terus Berlanjut
Selama seminggu terakhir, pasukan Israel meningkatkan operasi di pinggiran Kota Gaza. Penduduk di lingkungan Zeitoun dan Shujaiya melaporkan tembakan besar-besaran dari udara dan tank. Sebuah pesawat tak berawak Israel menargetkan sekelompok orang di daerah Asqaula, menewaskan dua orang dan melukai beberapa lainnya. Seorang lainnya syahid dan tiga lainnya luka-luka ketika sebuah rumah di dekat Masjid al-Alami di Jalan az-Zarqa dihantam.
Perkemahan tenda di al-Mawasi, wilayah selatan Gaza, juga diserang pada hari Sabtu. Serangan udara Israel menewaskan Motasem al-Batta, istrinya, dan bayi perempuan mereka di dalam tenda. Daerah tersebut sebelumnya ditetapkan sebagai zona “kemanusian” atau “aman”, namun terus menjadi target serangan.
Kondisi Kemanusiaan Memburuk
Agresi Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 61.827 orang sejak Oktober 2023. Malnutrisi telah menewaskan 251 orang sejauh ini, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Dalam 24 jam terakhir, sebelas orang, termasuk seorang anak, meninggal karena kelaparan.
Di Rumah Sakit al-Shifa, lebih dari 200 pasien dalam kondisi kritis akibat kekurangan obat dan gizi. Direktur Mohammed Abu Salmiya mengatakan rumah sakit penuh sesak dengan pasien yang terluka, sementara banyak dokter harus melakukan amputasi karena tidak mampu mengatasi infeksi pada luka.
Organisasi Kesehatan Dunia mencatat bahwa lebih dari 14.800 pasien membutuhkan perawatan medis darurat yang tidak tersedia di Gaza. Banyak warga Palestina terpaksa berjuang untuk mendapatkan makanan di dapur umum, sementara ratusan keluarga menghadapi ancaman kelaparan.
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza Munir al-Bursh menyebutkan bahwa 40.000 bayi di wilayah tersebut menderita kekurangan gizi parah akibat pembatasan bantuan. PBB memperingatkan bahwa tingkat kelaparan dan kekurangan gizi di Gaza mencapai titik tertinggi sejak perang dimulai.
Tuntutan untuk Kebebasan Tawanan
Kelompok yang mewakili keluarga 50 tawanan Israel yang masih ditahan di Gaza meminta warga Israel turun ke jalan untuk menuntut kebebasan sandera. Mereka mengajak warga Israel menghentikan kehidupan sehari-hari dan bergabung dalam perjuangan untuk memulangkan para tawanan.
Netanyahu menolak kritik bahwa rencananya untuk memperluas serangan militer akan membahayakan nyawa para tawanan. Ia menyatakan bahwa mobilisasi pasukan akan memakan waktu berminggu-minggu dan ia “tidak punya pilihan” selain menyerang Hamas di Gaza.