
Operasi Militer Israel di Gaza City dan Kekacauan yang Berlangsung
Israel telah memulai operasi militer untuk merebut kota Gaza City, sementara pihaknya juga mengundang puluhan ribu pasukan cadangan. Operasi ini dilakukan dalam konteks pertimbangan terhadap usulan gencatan senjata baru. Juru Bicara Militer Israel, Brigadir Jenderal Effie Defrin, menyampaikan bahwa pasukan IDF (Angkatan Pertahanan Israel) saat ini sudah menguasai wilayah pinggiran Gaza City.
Menurut pejabat militer, pasukan cadangan akan mulai bertugas pada bulan September. Hal ini memberi waktu bagi para mediator untuk mencari solusi antara Hamas dan Israel terkait syarat gencatan senjata. Namun, setelah bentrokan dengan pejuang Hamas pada Rabu lalu, kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan rencana percepatan untuk merebut basis Hamas dan mengalahkan kelompok tersebut melalui serangan sejak Oktober 2023.
Langkah ini menunjukkan bahwa Israel tetap berkomitmen untuk menguasai kota terbesar di Gaza meskipun mendapat kritik dari komunitas internasional. Di tengah kekhawatiran terhadap peningkatan jumlah pengungsi warga Palestina, Defrin menegaskan bahwa Hamas kini hanya menjadi kekuatan gerilya yang “lemah dan terpukul.” Pihak Israel berencana memperdalam serangan ke Gaza City, yang mereka anggap sebagai pusat politik dan militer dari Hamas.
Hamas melalui akun Telegram menuduh Netanyahu menghalangi tercapainya kesepakatan gencatan senjata 60 hari yang diusulkan oleh mediator Arab. Mereka menyatakan bahwa pengabaian Netanyahu atas usulan mediator membuktikan bahwa dia adalah penghalang utama dari setiap kesepakatan.
Kabinet keamanan Israel yang dipimpin Netanyahu bulan ini menyetujui rencana perluasan kampanye militer untuk merebut Gaza City. Saat ini, Israel menguasai sekitar 75% Jalur Gaza. Meski beberapa sekutu dekat menginginkan agar pihak Israel mempertimbangkan gencatan senjata, Netanyahu ditekan oleh anggota koalisi sayap kanan untuk terus melanjutkan perang dan bahkan mendorong aneksasi wilayah Palestina.
Menteri Keuangan Bezalel Smotrich pada Rabu mengumumkan persetujuan akhir rencana pembangunan permukiman di Tepi Barat yang banyak dikritik karena dianggap menghilangkan prospek negara Palestina. Perang di Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023 ketika Hamas menyerang komunitas Israel di dekat perbatasan, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang, termasuk anak-anak. Menurut otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 62.000 warga Palestina tewas sejak perang berlangsung, mayoritas perempuan dan anak-anak.
Israel menolak menghentikan perang sebelum Hamas melucuti senjata. Namun, jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas publik Israel mendukung penghentian perang jika pembebasan sandera bisa dijamin. Akhir pekan lalu, ribuan orang berunjuk rasa di Tel Aviv mendesak pemerintah segera mencapai kesepakatan. Sementara itu, survei Reuters/Ipsos terbaru di AS menunjukkan 58% responden mendukung agar seluruh anggota PBB mengakui Palestina sebagai negara.
Sebelumnya, militer Israel melaporkan bentrokan dengan lebih dari 15 militan Hamas yang muncul dari terowongan dekat Khan Younis, menembaki pasukan dengan senjata api dan rudal antitank. Seorang tentara Israel luka parah, sementara dua lainnya luka ringan. Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, mengklaim melakukan serangan jarak dekat dan menyebut salah satu pejuangnya meledakkan diri di antara tentara Israel.
Kampanye militer Israel telah menyebabkan kerusakan luas di Jalur Gaza yang dihuni 2,3 juta penduduk sebelum perang. Banyak rumah, sekolah, hingga masjid hancur. Israel menuduh Hamas beroperasi dari infrastruktur sipil, tuduhan yang dibantah Hamas. Otoritas Israel mengatakan akan mengeluarkan perintah evakuasi bagi warga Gaza City sebelum melancarkan serangan besar. Patriark Latin Yerusalem bahkan melaporkan sejumlah lingkungan dekat Gereja Katolik satu-satunya di Gaza City sudah mulai menerima pemberitahuan evakuasi.