
Memberi dengan Hati: Menyeimbangkan Cinta dan Kewajiban dalam Keluarga
Setiap hari Kamis sore, saya selalu menelepon ibu. “Halo, Ma,” ucapku dengan suara yang sudah sangat hafal. Suara ibu di seberang selalu riang, meski terkadang terdengar lelah. Kami berbicara panjang lebar: mulai dari harga beras yang semakin mahal, batuk ibu yang sering muncul di malam hari, hingga keponakan yang pulang membawa nilai bagus.
Di akhir percakapan, saya selalu mengatakan, “Nanti aku kirim beras dan token listrik, ya, Ma.” Ibu hanya tertawa pelan, tapi saya tahu dia senang. Itu adalah ritual yang telah berlangsung bertahun-tahun. Namun, lima tahun lalu, telepon itu berhenti. Ibu pergi setelah menelepon saya usai saya menderita demam covid delta yang parah. Ibu tidak dalam kondisi sakit parah, hanya sesak napas dan dalam waktu singkat ia pergi selamanya.
Saya tidak bisa pulang untuk memeluk dan memakamkannya karena masa pandemi melarang warga bepergian. Setelah ibu pergi dini hari tanggal 2 Februari 2020, saya sadar bahwa memberi bukan hanya soal uang, tetapi juga tentang hati, perhatian kecil bahkan sekadar menyapa melalui telepon. Kesadaran ini terlambat, namun menjadi pengingat bagi banyak orang.
Sebelum menikah, cara saya memberi kepada orang tua bukan hanya melalui uang, tetapi melalui buku-buku yang saya tulis. Saya mengirimkan 100 eksemplar buku untuk ayah saya yang sudah meninggal. Ayah menjual buku-buku itu kepada mantan muridnya atau teman-teman guru dengan bangga. Dengan cara sederhana ini, saya ingin menebus rasa bangga ayah yang tertunda karena saya memilih tidak menjadi imam Katolik. Saya ingin memberikan rasa bangga kepada ayah saat ia menawarkan buku, “Ini buku yang ditulis anak kita.”
Dalam kata-kata itu ada kebanggaan sebagai seorang ayah, terutama di tengah masyarakat mayoritas Katolik yang anaknya gagal menjadi imam. Dari 100 buku per judul (beberapa judul saya tulis sebelum tahun 2007), ayah bisa membeli genset dan alat pertukangan. Saya tidak pernah meminta ayah mengirimkan hasil penjualan buku-buku itu. Saya meminjam dari penerbit dan mencicilnya dengan gaji atau bonus kerja. Inilah cara sederhana untuk memberi perhatian kepada orang tua: memberi rasa bangga, nyaman, dan perhatian kecil.
Bagi saya dan mungkin banyak orang, ini adalah rutinitas penuh makna, ritual yang menunjukkan kasih sayang pada orang tua. Namun, ketika seseorang menikah dan membangun keluarga baru, memberi menjadi lebih rumit. Bukan lagi sekadar soal hati, tapi juga keseimbangan, komunikasi, dan kebijaksanaan.
Memberi kepada orang tua sering kali dianggap sebagai kewajiban moral, bahkan bahasa cinta yang tak terucapkan. Namun, di tengah tanggung jawab sebagai pasangan atau orang tua, muncul dilema: bagaimana memenuhi kebutuhan keluarga besar tanpa mengorbankan keluarga inti? Banyak yang menghadapi situasi ini.
Ada yang merasa harus memberi lebih karena orang tuanya sakit, ada yang tertekan karena pasangan tidak mendukung, dan ada pula yang merasa bersalah karena kebutuhan anak-anak terabaikan. Lalu, bagaimana caranya tetap berbakti, adil, dan menjaga harmoni rumah tangga?
Mulai dari Komunikasi, Bukan dari Dompet
Konflik soal memberi sering muncul bukan karena jumlah uangnya, tapi karena kurangnya pembicaraan. Sebelum menikah, pasangan mungkin pernah sepakat, “Nanti kita bantu orang tua, ya.” Tapi, apa arti “bantu”? Berapa jumlahnya? Seberapa sering? Tanpa kejelasan, kesepahaman ini bisa jadi sumber masalah.
Coba duduk bersama pasangan, bicara dengan terbuka. Tanyakan, “Apa kekhawatiranmu kalau kita bantu orang tua lebih banyak?” Mungkin jawabannya, “Aku takut tabungan anak kurang,” atau “Aku khawatir kalau ada kebutuhan mendadak.” Dengarkan. Lalu, sampaikan juga kekhawatiran sebaliknya: “Aku takut menyesal kalau orang tuaku butuh, tapi aku tak membantu.” Dari situ, buat kesepakatan konkret, misalnya menyisihkan 10% dari pendapatan untuk keluarga besar, dibagi rata untuk kedua belah pihak. Jika ada kebutuhan mendesak, diskusikan ulang. Komunikasi yang jujur adalah fondasi keseimbangan.
Adil Bukan Berarti Sama Rata
Memberi kepada orang tua bukan soal membagi jumlah yang sama persis untuk kedua belah pihak. Kondisi keluarga bisa sangat berbeda. Misalnya, jika orang tua salah satu pihak sudah pensiun dan sakit-sakitan, sementara pihak lain masih bekerja dan mandiri, wajar jika bantuan disesuaikan dengan kebutuhan. Yang penting, pasangan merasa dihargai dan didengar.
Misalnya, membantu mertua dengan membayar tagihan listrik saat Lebaran atau membantu biaya kuliah adik ipar bisa jadi cara menunjukkan perhatian tanpa memihak. Adil itu soal memahami kebutuhan masing-masing, bukan soal angka yang seragam.
Cinta Lebih dari Sekadar Uang
Sebuah artikel di The Atlantic pernah menulis, anak dewasa berutang pada orang tua lebih dari sekadar uang. Waktu, perhatian, dan kehadiran sering kali jauh lebih berarti. Banyak orang tua lebih bahagia saat anaknya datang, duduk bersama, mendengarkan cerita masa kecil, atau sekadar jalan pagi keliling komplek, ketimbang hanya menerima transfer tanpa obrolan.
Jika pasangan merasa keberatan dengan jumlah bantuan finansial, tawarkan alternatif. “Bagaimana kalau kita lebih sering menjenguk? Atau bantu urus dokumen BPJS mereka?” Tindakan sederhana ini bisa meringankan beban finansial sekaligus menunjukkan kasih sayang yang tulus.
Menghormati Orang Tua dengan Bijaksana
Dalam ajaran Katolik, perintah “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Keluaran 20:12) adalah panggilan suci. Namun, bagi yang sudah berkeluarga, perintah ini harus dijalani dengan keseimbangan. Efesus 5:25 mengingatkan suami untuk mengasihi istri seperti Kristus mengasihi gereja. Paus Fransiskus, dalam Amoris Laetitia, menekankan bahwa kasih harus diatur dengan kebijaksanaan, tidak boleh mengabaikan orang tua, tapi juga tidak boleh mengorbankan keluarga inti.
Memberi kepada orang tua harus sesuai kemampuan, tanpa mengesampingkan kebutuhan anak atau pasangan. Misalnya, jika ada kebutuhan mendesak seperti biaya operasi keluarga besar, ajak pasangan berdiskusi. Bahkan, libatkan orang tua dalam pembicaraan jika perlu. Kadang, empati tercipta saat semua pihak saling mendengar. Seorang anak yang baik menghormati orang tua dengan doa, kunjungan, dan bantuan, tapi seorang pasangan yang bijak memastikan keluarga intinya tetap terlindungi.
Penutup: Memberi dengan Cinta, Menjaga dengan Hati
Memberi kepada orang tua adalah soal rasa, syukur, terima kasih, dan keinginan membalas jasa yang tak ternilai. Tapi, ketika sudah berkeluarga, memberi harus dibarengi kebijaksanaan. Komunikasi terbuka, kesepakatan adil, dan tindakan tulus adalah kuncinya.
Pada akhirnya, yang dikenang bukan jumlah rupiah di rekening, tapi momen-momen kecil: telepon di sore hari, obrolan sambil minum kopi, atau pelukan sederhana sembari berkata, “Terima kasih, Ma, Pa.” Itu adalah bahasa cinta yang tak bisa dibeli, hanya bisa diberikan dengan hati.